Sejarah Sastra
Indonesia
1.
Pengertian Sejarah
Dalam Mengerti Sejarah (Gottschalk, 1975)
dijelaskan secara panjang lebar pengertian sejarah (history) yang berasal dari
kata benda Yunani istoria yang berarti ‘ilmu’. Oleh filsuf
Aristoteles, kata tersebut diartikan sebagai suatu pertelaan sistematis
mengenai seperangkat gejala alam, entah susunan kronologi merupakan faktor atau
tidak di dalam pertelaan. Pengetahuan itu masih tetap hidup dalam bahasa
inggris dengan sebutan natural history.
.
Kini history berarti masa lampau umat manusia.
Dalam bahasa jerman terdapat geschichte, dari kat geschehen (=terjadi) yang
seloanjutnya sering dipakai untuk pengertian pelajaran sejarah. Dalam
pengertian itu, tergambar ketidakmungkinan masa lampau 7umat manusia untuk
direkonstruksi. Sebab, pengalaman manusia di masa lampau sangat banyak untuk
diingat kembali, direkam, dicatat, apalagi direkonstruksi. Dengan kata
lain, masa lampau manusia untuk sebagian besar tidak dapat ditampilkan
kembali.
2. Sejarah Sastra
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah sastra
merupakan cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan
sastra suatu bangsa. Misalnya, sejarah sastra Indonesia, sejarah sastra Jawa,
dan sejarah sastra Inggris. Dengan pengertian dasar itu, tampak bahwa objek
sejarah sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada rentang masa
pertumbuhan dan perkembangan suatu bangsa. Telah disinggung di depan bahwa
sejarah sastra itu bisa menyangkut karya sastra, pengarang, penerbit,
pengajaran, kritik, dan lain-lain.
3. Sejarah
Sastara Indonesia
Perhatian masyarakat sastra Indonesia terhadap masalah
sejarah kebudayaan, termasuk sastra, telah tampak sejak awal pertumbuhan sastra
Indonesia di tahun 1930-an sebagaimana terbaca dalam Polemik Kebuadayaan suntingan
Achdiat K.Mihardja (1977). Polemic yang berkembang antara tokoh-tokoh S.Takdir
Alisjahbana, Sanusi Pane, Poerbatjaraka, M.Amir, Ki Hadjar Dewantara, Adinegoro
dan lain-lain memang tidak secara khusus memperdebatkan konsep kesusastraan
Indonesia, tetapi telah memperlihatkan kesadaran mereka terhadap sejarah
kebudayaan Indonesia.
Hingga
sekarang sejarah sastara Indonesia telah berlangsung relative panjagn dengan
perkembangan yang terbilang pesat dan dinamik sehingga dapat ditulis secara
panjang lebar. Hal itu dapat dipandang sebagai tantangan besar ahli sastra
Indonesia.akan tetapi, pada kenyataannya buku-buku sejarah sastra Indonesia
masihrelatif sangat sedikit dibandingkan dengan buku-buku kritik, esai,
dan apresiasi sastra. Sejumlah buku sejarah sastra Indonesia tercata
secara kronologis sebagai berikut:
1. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru oleh A.Teeuw (1952),
2. Sejarah sastra Indonesia oleh
Bakri Siregar (1964),
3. Kesusastraan Baru Indoneisa oleh Zuber Usman (1964),
4. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia oleh Ajip Rosidi (1969),
5. Modern Indonesia Literature I-II oleh A.Teeuw (1979),
6. Sastra Baru Indonesia oleh
A.Teeuw (1980),
7. Sari Kesusastaraan Indonesia oleh J.S. Badudu (1981),
8. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern oleh Pamusuk Eneste (1988),
9. Lintasan Sejarah Sastra Indonesia 1 oleh Jakob Sumardjo (1992), dan
10. Sejarah
Sastar Indonesia Modern oleh
Sarwadi (2004).
4. Periodisasi
Sejarah Sastra Indonesia
Masalah periodisasi sejarah sastra Indonesia secara
eksplisit telah diperlihatkan oleh Ajip Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Sastra
Indonesia (1969), Jakob Sumardjo dalam Lintasan Sejarah Sastra
Indonesia 1 (1992), dan Rahmat Joko Pradopo dalam Beberapa Teori Sastra,
Metode Kritik, dan penerapannya (1995).
Secara garis besar Ajib Rosidi (1969: 13) membagi sejarah
sastra Indonesia sebagai berikut:
I.
Masa Kelahiran atau Masa Kebangkitan
yang mencakup kurun waktu 1900-1945 yang dapat dibagi lagi menjadi beberapa
period, yaitu
1. Period awal hingga 1933
2. Period 1933-1942
3. Period 1942-1945
II.
Masa Perkembangan (1945-1968) yang
dapat dibagi-bagi menjadi beberapa period, yaitu
1. Period 1945-1953
2. Period 1953-1961
3. Period 1061-1968
Menurut Ajip, warna yang menonjol pada periode awal
(1900-1933) adalah persoalan adat yang sedang menghadapai akulturasi sehingga
menimbulkan berbagai problem bagi kelangsungan eksistensi masing-masing,
sedangkan periode 1933-1942 diwarnai pencarian tempat di tengah pertarungan kebudayaan
Timur dan Barat dengan pandangan romantic-idealis.
Perubahan terjadi pada periode 1942-1945 atau masa
pendudukan Jepang yang melahirkan warna pelarian, kegelisahan, dan peralihan,
sedangkan warna perjuangan dan pernyataan diri di tengah kebudayaan dunia
tampak pada periode 1945-1953 dan selanjutnya warna pencarian identitas diri
dan sekaligus penilaian kembali terhadap warisan leluhur tampak menonjol pada
periode 1953-1961. Pada periode 1961-1968 tampak menonjol warna perlawanan dan
perjuangan mempertahankan martabat, sedangkan sesudahnya tampak warna percobaan
dan penggalian berbagai kemungkinan pengucapan sastra.
Pada kenyataanya telah tercatat lima angkatan yang muncul
dengan rentang waktu 10 – 15 tahun sehingga dapat disusun perodisasi sejarah sastra
Indonesia modern sebagai berikut:
1. Sastra Awal
(1900 – an ),
2. Sastra Balai Pustaka (1920 – 1942)
3. Sastra Pujangga Baru
(1930 – 1942)
4. Sastra Angkatan 45
(1942 – 1955)
5. Sastra Generasi Kisah (1955 – 1965)
6. Sastra Generasi Horison (1966)
Kemungkinan lain adalah penulisan sejarah sastra dari sudut
perkembangan jenis-jenis sastra, baik prosa maupun puisi.
Setelah meninjau periodisasi sejarah sastra Indonesia dari
H.B.Jassin, Boejoeng Saleh, Nugroho Notosusanto, Bakri Siregar, dan Ajip
Rosidi, maka tawaran Rachmat Djoko Pradopo mengenai periodisasi sejarah sastra
Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Periode Balai
Pustaka
: 1920-1940
2. Periode Pujangga
Baru :
1930-1945
3. Periode Angkatan
45
: 1940-1955
4. Periode Angkatan
50
: 1950-1970
5. Periode Angkatan
70
: 1965-1984
Dari pendapat para pakar di atas, maka dapat disimpulkan
periodisasi sastra sebagai berikut:
1. Angkatan balai pustaka,
2. Angkatan pujangga baru,
3. Angkatan ’45,
4. Angkatan 50-an.
5. Angkatan 60-an,
6. Angkatan kontemporer (70-an--sekarang).
Tokoh tokoh satrawan pada zaman nya:
1.
Marah
rusli
Marah Rusli, sang sastrawan itu,
bernama lengkap Marah Rusli bin Abu Bakar. Ia dilahirkan di Padang pada tanggal
7 Agustus 1889. Ayahnya, Sultan Abu Bakar, adalah seorang bangsawan dengan
gelar Sultan Pangeran. Ayahnya bekerja sebagai demang. Marah Rusli mengawini
gadis Sunda kelahiran Bogor pada tahun 1911. Mereka dikaruniai tiga orang anak,
dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Perkawinan Marah Rusli dengan gadis
Sunda bukanlah perkawinan yang diinginkan oleh orang tua Marah Rusli, tetapi
Marah Rusli kokoh pada sikapnya, dan ia tetap mempertahankan perkawinannya.
Meski lebih terkenal sebagai
sastrawan, Marah Rusli sebenarnya adalah dokter hewan. Berbeda dengan Taufiq
Ismail dan Asrul Sani yang memang benar-benar meninggalkan profesinya sebagai
dokter hewan karena memilih menjadi penyair, Marah Rusli tetap menekuni profesinya
sebagai dokter hewan hingga pensiun pada tahun 1952 dengan jabatan terakhir
Dokter Hewan Kepala. Kesukaan Marah Rusli terhadap kesusastraan sudah tumbuh
sejak ia masih kecil. Ia sangat senang mendengarkan cerita-cerita dari tukang
kaba, tukang dongeng di Sumatera Barat yang berkeliling kampung menjual
ceritanya, dan membaca buku-buku sastra. Marah Rusli meninggal pada tanggal 17
Januari 1968 di Bandung dan dimakamkan di Bogor, Jawa Barat. Dalam
sejarah sastra Indonesia, Marah Rusli tercatat sebagai pengarang roman yang
pertama dan diberi gelar oleh H.B. Jassin sebagai Bapak Roman Modern Indonesia.
Sebelum muncul bentuk roman di Indonesia, bentuk prosa yang biasanya digunakan
adalah hikayat. Marah Rusli berpendidikan tinggi dan buku-buku bacaannya
banyak yang berasal dari Barat yang menggambarkan kemajuan zaman. Ia kemudian
melihat bahwa adat yang melingkupinya tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman. Hal itu melahirkan pemberontakan dalam hatinya yang dituangkannya ke
dalam karyanya, Siti Nurbaya. Ia ingin melepaskan masyarakatnya dari belenggu
adat yang tidak memberi kesempatan bagi yang muda untuk menyatakan pendapat
atau keinginannya.
Dalam Siti Nurbaya, telah diletakkan
landasan pemikiran yang mengarah pada emansipasi wanita. Cerita itu membuat wanita
mulai memikirkan akan hak-haknya, apakah ia hanya menyerah karena tuntutan adat
(dan tekanan orang tua) ataukah ia harus mempertahankan yang diinginkannya.
Ceritanya menggugah dan meninggalkan kesan yang mendalam kepada pembacanya.
Kesan itulah yang terus melekat hingga sampai kini. Setelah lebih delapan puluh
tahun novel itu dilahirkan, Siti Nurbaya tetap diingat dan dibicarakan.
Selain Siti Nurbaya, Marah Rusli
juga menulis beberapa roman lainnya. Akan tetapi, Siti Nurbaya itulah yang
terbaik. Roman itu mendapat hadiah tahunan dalam bidang sastra dari Pemerintah
Republik Indonesia pada tahun 1969 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia.
Karya-karyanya yang terkenal antara lain :
a) Siti Nurbaya. Jakarta : Balai Pustaka. 1920 mendapat hadiah
dari Pemerintah RI tahun 1969.
b) La Hami. Jakarta : Balai Pustaka. 1924.
c) Anak dan Kemenakan. Jakarta : Balai Pustaka. 1956.
d) Memang Jodoh (naskah roman dan otobiografis)
e) Tesna Zahera (naskah Roman)
B. Angkatan
Pujangga Baru
1. Latar belakang terbitnya Pujangga Baru
Buku Pujangga Baru, Prosa dan
Puisi yang disusun oleh H.B Jasin adalah sebuah bunga rampai (antologia)
dari para pengarang dan penyair yang oleh penyusunnya digolongkan ke dalam
Angkatan Pujangga Baru Seperti diketahui, oleh para ahli dan parapenyusun
buku-buku pelajaran sastra Indonesia, perkembangan sastra Indonesia
dibagi-bagimenjadi angkatan-angkatan. Angkatan Pujangga Baru biasanya
ditempatkan sebagaiangkatan kedua, yaitu setelah angkatan Balai Pustaka dan
mendahului kelahiran angkatan‘45.
Pujangga
Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai
Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap
karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra
Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis.
2. Karakteristik
Karya Angkatan Pujangga Baru
a. Dinamis
b. Bercorak romantik/idealistis, masih secorak dengan angkatan
sebelumnya, hanya saja kalau romantik angkatan Siti
Nurbaya bersifat fasip, sedangkan angkatan
Pujangga Baru aktif romantik. Hal ini berarti bahwa cita-cita atau ide baru
dapat mengalahkan atau menggantikan apa yang sudah dianggap tidak berlaku lagi.
c. Angkatan Pujangga Baru menggunakan
bahasa Melayu modern dan sudah meninggalkan
bahasa klise. Mereka berusaha membuat
ungkapan dan gaya bahasa sendiri. Pilihan
kata, Penggabungan ungkapan serta irama
sangat dipentingkan oleh Pujangga Baru sehingga dianggap terlalu
dicari-cari.
Ditilik bentuknya, karya angkatan
Pujangga Baru mempunyai ciri-ciri:
a. Bentuk puisi yang memegang
peranan penting adalah soneta, disamping itu
ikatan-ikatan lain seperti quatrain dan
quint pun banyak dipergunakan. Sajak jumlah
suku kata dan syarat-syarat puisi lainnya
sudah tidak mengikat lagi, kadang-kadang para
Pujangga Baru mengubah sajak atau puisi
yang pendek-pendek, cukup beberapa bait
saja. Sajak-sajak yang agak panjang hanya
ada beberapa buah, misalnya ”Batu Belah” dan ”Hang Tuah” karya Amir
Hamjah.
b. Tema dalam karya prosa (roman)
bukan lagi pertentangan faham kaum muda
dengan adat lama seperti angkatan Siti
Nurbaya, melainkan perjuangan kemerdekaan dan
pergerakan kebangsaan, misalnya pada roman Layar
Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana
c. Bentuk karya drama pun banyak
dihasilkan pada masa Pujangga Baru dengan
tema kesadaran nasional. Bahannya ada yang
diambil dari sejarah dan ada pula yang
semata-mata pantasi pengarang sendiri yang menggambarkan jiwa dinamis.
Pengarang Angkatan Pujangga Baru dan Karyanya
1. Rustam
Effendi
Lahir
di Padang, 18 Mei 1905. Dia aktif
dalam bidang politik serta pernah menjadi anggota
Majelis Perwakilan Belanda sebagai utusan
Partai Komunis. Dalam karyanya banyak dipengaruhi oleh bahasa
daerahnya, juga sering mencari istilah-istilah dari Bahasa Arab dan Sansakerta.
Karyanya antara lain:
a.
Percikan Permenungan (kumpulan
sajak, 1922)
b.
Bebasari (sandiwara bersajak, 1922)
2. Amir Hamzah
Amir Hamzah yang
bergelar Pangeran Indera Putra, lahir pada
28-2-1911 di Tanjungpura (Langkat), dan meninggal pada bulan Maret 1946.
Ia keturunan bangsawan, kemenakan dan menantu Sultan Langkat, serta hidup
ditengah-tengah keluarga yang taat beragama Islam. Ia mengunjungi HIS di
Tanjungpura, Mulo di Medan, dan Jakarta AMS, AI (bagian Sastra Timur) di Solo.
Ia menuntut ilmu pada Sekolah Hakim Tinggi sampai kandidat. Amir Hamzah lebih
banyak mengubah puisi sehingga mendapat sebutan “Raja Penyair” Pujangga Baru.
Karya-karyanya antara lain:
a.
Nyanyi Sunyi (kumpulan sajak, 1937)
b.
Buah Rindu (kumpulan sajak, 1941)
c.
Setanggi Timur (kumpulan sajak,
1939)
d.
Bhagawad Gita (terjemahan salah satu
bagian mahabarata)
C. Angkatan ‘45
1. Sejarah Lahirnya Angkatan ‘45
Jika
diruntut berdasarkan periodesasinya, sastra
Indonesia Angkatan ‘45 bisa dikatakan sebagai
angkatan ketiga dalam lingkup sastra baru
Indonesia, setelah angkatan Balai Pustaka
dan angkatan Pujangga Baru. Munculnya
karya-karya sastra Angkatan ‘45 yang dipelopori
oleh Chairil Anwar ini memberi warna
baru pada khazanah kesusastraan Indonesia. Bahkan
ada orang yang berpendapat bahwa sastra
Indonesia baru lahir dengan adanya karya-karya Chairil Anwar,
sedangkan karya-karya pengarang terdahulu seperti Amir Hamzah, Sanusi Pane,
St.Takdir Alisjahbana, dan lain-lainnya dianggap sebagai karya sastra Melayu.
Pada mulanya angkatan ini disebut dengan
berbagai nama, ada yang menyebut Angkatan
Sesudah Perang, Angkatan Chairil Anwar,
Angkatan Kemerdekaan, dan lain-lain. Baru pada
tahun 1948, Rosihan Anwar menyebut angkatan
ini dengan nama Angkatan ‘45.
3. Karakteristik Karya Angkatan ‘45
a. Bercorak lebih realistik dibanding
karya Angkatan Pujangga Baru yang
romantik-idealistik.
b. Pengalaman hidup dan gejolak
sosial-politik-budaya mewarnai karya sastrawan Angkatan ’45.
c. Bahasanya lugas, hidup dan berjiwa serta bernilai sastra.
d. Sastrawannya lebih berjiwa patriotik.
e. Bergaya ekspresi dan revolusioner (H.B.Yassin).
f. Bertujuan universal nasionalis.
g. Bersifat praktis.
h. Sikap sastrawannya “tidak berteriak tetapi melaksanakan” .
Sastrawan Angkatan ‘45 dan Karyanya
1. Chairil
Anwar
Chairil Anwar lahir di Medan, 22 Juli
1922. Sekolahnya hanya sampai MULO (SMP) dan itu pun
tidak tamat. Kemudian ia pindah ke Jakarta. Ia merupakan orang yang banyak
membaca dan belajar sendiri, sehingga tulisan-tulisannya matang dan padat
berisi. Chairil Anwar berusaha memperbarui
penulisan puisi. Puisi yang diubahnya berbentuk
bebas, sehingga disebut puisi bebas. Ia
diakui sebagai pelopor Angkatan ‘45 di
bidang sebagai alat untuk mencapai isi. Chairil Anwar
termasuk penyair yang penuh vitalitas
(semangat hidup yang menyala-nyala) dan
individualistis (kuat rasa akunya). Puisi
gubahannya berirama keras (bersemangat), tetapi ada juga yang
bernafas ketuhanan seperti “Isa” dan “Do’a”. Karya-karya Chairil Anwar
antara lain:
a. Deru Campur Debu (kumpulan puisi)
b. Tiga Menguak Takdir (kumpulan puisi karya bersama Rivai Apin
dan Asrul Sani)
c. Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan Yang Putus (kumpulan
puisi)
d. Pulanglah Dia Si Anak Hilang (terjemahan dari karya Andre
Gide)
e. Kena Gempur (terjemahan dari karya Steinbeck)
2. Asrul
Sani
Asrul Sani lahir di Rao, Sumatera Barat, 10 Juni 1926. Ia seorang dokter hewan.
Pernah memimpin majalah Gema dan harian
Suara Bogor. Tulisannya berpegang pada moral
dan keluhuran jiwa. Asrul Sani adalah
seorang sarjana kedokteran hewan, yang kemudian
menjadi direktur Akademi Teater Nasional
Indonesia (ATNI) dan menjadi ketua Lembaga
Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI),
juga pernah duduk sebagai anggota DPRGR/MPRS
wakil seniman. Asrul Sani juga dikenal sebagai
penulis skenario film hingga sekarang. Karya-karya Asrul Sani antara
lain:
a. Sahabat Saya Cordiaz (cerpen)
b. Bola Lampu (cerpen)
c. Anak Laut (sajak)
d. On Test (sajak)
e. Surat dari Ibu
(sajak)
3. Sitor
Situmorang
Lahir di Tapanuli Utara, 21 Oktober
1924. Ia cukup lama bermukim di Prancis.
Sitor juga diakui sebagai kritikus sastra
Indonesia. Karya-karya Sitor Situmorang antara lain:
a. Surat Kertas Hijau (1954)
b. Jalan Mutiara (kumpulan drama)
c. Dalam Sajak (1955)
d. Wajah Tak Bernama (1956)
e. Zaman Baru (kumpulan sajak)
f. Pertempuran dan Salju di Paris
g. Peta Pelajaran (1976)
h. Dinding Waktu (1976)
i. Angin Danau (1982)
j. Danau Toba (1982)
Periode
Angkatan 2000 atau Reformasi
a. Sejarah
Angkatan Reformasi
Seiring
terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke B.J. Habibie
lalu K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur)
dan Megawati Soekarno Putri, muncul wacana
tentang sastrawan reformasi. Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya
karya-karya sastra puisi, cerpen maupun novel,
yang bertemakan sosial-politik, khususnya seputar
reformasi. Di rubrik sastra Harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan
dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai
pentas pembacaaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi
sajak-sajak bertema sosial-politik. Sastrawan reformasi
merefleksikan keadaan sosial dan politik
yang terjadi pada akhir 1990-an, seiring
dengan jatuhnya Orde Baru. Peristiwa
reformasi 1998 banyak melatar belakangi kelahiran
karya-karya sastra seperti puisi, cerpen,
dan novel. Bahkan, penyair yang semula
jauh dari tema sosial-politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Acep
Zamzam Noer dan Ahmadun Yosi Herfanda, juga ikut meramaikan suasana itu dengan
sajak-sajak sosial-politik mereka.
b. Ciri-ciri Periode 2000
1. Isi karya sastra sesuai situasi reformasi;
2. Bertema sosial-politik, romantik, naturalis;
3. Produktivitas karya sastra lebih marak lagi, seperti puisi,
cerpen, novel;
4. Disebut angkatan reformasi;
5. Tahun 1998 merupakan puncak dari angkatan 90-an;
6. Banyak munculnya sastrawan baru
yang membawa angin baru dalam kesusastraan
Indonesia, contohnya Ayu Utami yang muncul
di akhir 90-an dengan karyanya Saman,
sebuah fragmen dari cerita Laila Tak
Mampir di New York.
7. Tema sosial-politik, romantik, masih mewarnai tema karya
sastra;
8. Banyak muncul kaum perempuan;
9. Disebut angkatan modern;
10. Karya sastra lebih marak lagi,
termasuk adanya sastra koran, contohnya dalam
H.U. Pikiran Rakyat;
11. Adanya sastra bertema gender, perkelaminan, seks,
feminisme;
12. Banyak muncul karya populer atau gampang dicerna, dipahami
pembaca;
13. Adanya sastra religi;
14. Muncul cyber sastra di Internet.
c. Sastrawan Angkatan 2000 dan Karyanya
1. Ahmadun Yosi Herfanda
Lahir
di Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958. Pendidikan: Alumnus FPBS IKIP
Yogyakarta menyelesaikan S2 di jurusan Magister Teknologi Informasi pada Univ.
Paramadina Mulia, Jakarta, 2005. Ia pernah menjadi
Ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan
Indonesia ( 1993-1995) dan Ketua Presidium Komunitas Sastra
Indonesia (1999-2002), Tahun 2003, bersama cerpenis Hudan Hidayat
dan Maman S. Mahayana menerbitkan Creative
Writing Institute. Ahmadun Pernah menjadi Anggota
Dewan Penasihat Majelis penulis Forum Lingkar
Pena. Contoh karyanya: Resonasi Indonesia