Kamis, 23 Januari 2014

sejarah sastra indonesia



Sejarah Sastra Indonesia


1.  Pengertian Sejarah
  Dalam Mengerti Sejarah (Gottschalk, 1975) dijelaskan secara panjang lebar pengertian sejarah (history) yang berasal dari kata benda Yunani istoria  yang berarti ‘ilmu’.  Oleh filsuf Aristoteles, kata tersebut diartikan sebagai suatu pertelaan sistematis mengenai seperangkat gejala alam, entah susunan kronologi merupakan faktor atau tidak di dalam pertelaan. Pengetahuan itu masih tetap hidup dalam bahasa inggris dengan sebutan natural history.
   .
Kini history berarti masa lampau umat manusia.  Dalam bahasa jerman terdapat geschichte, dari kat geschehen (=terjadi) yang seloanjutnya sering dipakai untuk pengertian pelajaran sejarah.  Dalam pengertian itu, tergambar ketidakmungkinan masa lampau 7umat manusia untuk direkonstruksi.  Sebab, pengalaman manusia di masa lampau sangat banyak untuk diingat kembali, direkam, dicatat, apalagi direkonstruksi.  Dengan kata lain, masa lampau manusia untuk sebagian besar tidak dapat ditampilkan kembali. 

2.  Sejarah Sastra
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa. Misalnya, sejarah sastra Indonesia, sejarah sastra Jawa, dan sejarah sastra Inggris. Dengan pengertian dasar itu, tampak bahwa objek sejarah sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada rentang masa pertumbuhan dan perkembangan suatu bangsa. Telah disinggung di depan bahwa sejarah sastra itu bisa menyangkut karya sastra, pengarang, penerbit, pengajaran, kritik, dan lain-lain.

3.     Sejarah Sastara Indonesia
Perhatian masyarakat sastra Indonesia terhadap masalah sejarah kebudayaan, termasuk sastra, telah tampak sejak awal pertumbuhan sastra Indonesia di tahun 1930-an sebagaimana terbaca dalam Polemik Kebuadayaan suntingan Achdiat K.Mihardja (1977). Polemic yang berkembang antara tokoh-tokoh S.Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Poerbatjaraka, M.Amir, Ki Hadjar Dewantara, Adinegoro dan lain-lain memang tidak secara khusus memperdebatkan konsep kesusastraan Indonesia, tetapi telah memperlihatkan kesadaran mereka terhadap sejarah kebudayaan Indonesia.















   Hingga sekarang sejarah sastara Indonesia telah berlangsung relative panjagn dengan perkembangan yang terbilang pesat dan dinamik sehingga dapat ditulis secara panjang lebar. Hal itu dapat dipandang sebagai tantangan besar ahli sastra Indonesia.akan tetapi, pada kenyataannya buku-buku sejarah sastra Indonesia masihrelatif sangat sedikit dibandingkan  dengan buku-buku kritik, esai, dan apresiasi sastra. Sejumlah buku sejarah sastra Indonesia  tercata secara kronologis sebagai berikut:

1.      Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru oleh A.Teeuw (1952),
2.      Sejarah sastra Indonesia oleh Bakri Siregar (1964),
3.      Kesusastraan Baru Indoneisa oleh Zuber Usman (1964),
4.      Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia oleh Ajip Rosidi (1969),
5.      Modern Indonesia Literature I-II oleh A.Teeuw (1979),
6.      Sastra Baru Indonesia oleh A.Teeuw (1980),
7.      Sari Kesusastaraan Indonesia oleh J.S. Badudu (1981),
8.      Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern oleh Pamusuk Eneste (1988),
9.      Lintasan Sejarah Sastra Indonesia 1 oleh Jakob Sumardjo (1992), dan
10.  Sejarah Sastar Indonesia Modern oleh Sarwadi (2004).


4.       Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia
Masalah periodisasi sejarah sastra Indonesia secara eksplisit telah diperlihatkan oleh Ajip Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia ­(1969), Jakob Sumardjo dalam Lintasan Sejarah Sastra Indonesia 1 (1992), dan Rahmat Joko Pradopo dalam Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan penerapannya (1995).
Secara garis besar Ajib Rosidi (1969: 13) membagi sejarah sastra Indonesia sebagai berikut:
                 I.            Masa Kelahiran atau Masa Kebangkitan yang mencakup kurun waktu 1900-1945 yang dapat dibagi lagi menjadi beberapa period, yaitu
1.      Period awal hingga 1933
2.      Period 1933-1942
3.      Period 1942-1945
              II.            Masa Perkembangan (1945-1968) yang dapat dibagi-bagi  menjadi beberapa period, yaitu
1.      Period 1945-1953
2.      Period 1953-1961
3.      Period 1061-1968
Menurut Ajip, warna yang menonjol pada periode awal (1900-1933) adalah persoalan adat yang sedang menghadapai akulturasi sehingga menimbulkan berbagai problem bagi kelangsungan eksistensi masing-masing, sedangkan periode 1933-1942 diwarnai pencarian tempat di tengah pertarungan kebudayaan Timur dan Barat dengan pandangan romantic-idealis.
Perubahan terjadi pada periode 1942-1945 atau masa pendudukan Jepang yang melahirkan warna pelarian, kegelisahan, dan peralihan, sedangkan warna perjuangan dan pernyataan diri di tengah kebudayaan dunia tampak pada periode 1945-1953 dan selanjutnya warna pencarian identitas diri dan sekaligus penilaian kembali terhadap warisan leluhur tampak menonjol pada periode 1953-1961. Pada periode 1961-1968 tampak menonjol warna perlawanan dan perjuangan mempertahankan martabat, sedangkan sesudahnya tampak warna percobaan dan penggalian berbagai kemungkinan pengucapan sastra.

Pada kenyataanya telah tercatat lima angkatan yang muncul dengan rentang waktu 10 – 15 tahun sehingga dapat disusun perodisasi sejarah sastra Indonesia modern sebagai berikut:
1.      Sastra Awal                                         (1900 – an ),
2.      Sastra Balai Pustaka                            (1920 – 1942)
3.      Sastra Pujangga Baru                          (1930 – 1942)
4.      Sastra Angkatan 45                             (1942 – 1955)
5.      Sastra Generasi Kisah                          (1955 – 1965)
6.      Sastra Generasi Horison                       (1966)


Kemungkinan lain adalah penulisan sejarah sastra dari sudut perkembangan jenis-jenis sastra, baik prosa maupun puisi.
Setelah meninjau periodisasi sejarah sastra Indonesia dari H.B.Jassin, Boejoeng Saleh, Nugroho Notosusanto, Bakri Siregar, dan Ajip Rosidi, maka tawaran Rachmat Djoko Pradopo mengenai periodisasi sejarah sastra Indonesia adalah sebagai berikut:
1.      Periode Balai Pustaka              : 1920-1940
2.      Periode Pujangga Baru             : 1930-1945
3.      Periode Angkatan 45               : 1940-1955
4.      Periode Angkatan 50               : 1950-1970
5.      Periode Angkatan 70               : 1965-1984
Dari pendapat para pakar di atas, maka dapat disimpulkan periodisasi sastra sebagai berikut:
1.      Angkatan balai pustaka,
2.      Angkatan pujangga baru,
3.      Angkatan ’45,
4.      Angkatan 50-an.
5.      Angkatan 60-an,
6.      Angkatan kontemporer (70-an--sekarang).














Tokoh tokoh satrawan pada zaman nya:

1.     Marah rusli
Marah Rusli, sang sastrawan itu, bernama lengkap Marah Rusli bin Abu Bakar. Ia dilahirkan di Padang pada tanggal 7 Agustus 1889. Ayahnya, Sultan Abu Bakar, adalah seorang bangsawan dengan gelar Sultan Pangeran. Ayahnya bekerja sebagai demang. Marah Rusli mengawini gadis Sunda kelahiran Bogor pada tahun 1911. Mereka dikaruniai tiga orang anak, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Perkawinan Marah Rusli dengan gadis Sunda bukanlah perkawinan yang diinginkan oleh orang tua Marah Rusli, tetapi Marah Rusli kokoh pada sikapnya, dan ia tetap mempertahankan perkawinannya.
Meski lebih terkenal sebagai sastrawan, Marah Rusli sebenarnya adalah dokter hewan. Berbeda dengan Taufiq Ismail dan Asrul Sani yang memang benar-benar meninggalkan profesinya sebagai dokter hewan karena memilih menjadi penyair, Marah Rusli tetap menekuni profesinya sebagai dokter hewan hingga pensiun pada tahun 1952 dengan jabatan terakhir Dokter Hewan Kepala. Kesukaan Marah Rusli terhadap kesusastraan sudah tumbuh sejak ia masih kecil. Ia sangat senang mendengarkan cerita-cerita dari tukang kaba, tukang dongeng di Sumatera Barat yang berkeliling kampung menjual ceritanya, dan membaca buku-buku sastra. Marah Rusli meninggal pada tanggal 17 Januari 1968 di Bandung dan dimakamkan di Bogor, Jawa Barat.  Dalam sejarah sastra Indonesia, Marah Rusli tercatat sebagai pengarang roman yang pertama dan diberi gelar oleh H.B. Jassin sebagai Bapak Roman Modern Indonesia. Sebelum muncul bentuk roman di Indonesia, bentuk prosa yang biasanya digunakan adalah hikayat.  Marah Rusli berpendidikan tinggi dan buku-buku bacaannya banyak yang berasal dari Barat yang menggambarkan kemajuan zaman. Ia kemudian melihat bahwa adat yang melingkupinya tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Hal itu melahirkan pemberontakan dalam hatinya yang dituangkannya ke dalam karyanya, Siti Nurbaya. Ia ingin melepaskan masyarakatnya dari belenggu adat yang tidak memberi kesempatan bagi yang muda untuk menyatakan pendapat atau keinginannya.
Dalam Siti Nurbaya, telah diletakkan landasan pemikiran yang mengarah pada emansipasi wanita. Cerita itu membuat wanita mulai memikirkan akan hak-haknya, apakah ia hanya menyerah karena tuntutan adat (dan tekanan orang tua) ataukah ia harus mempertahankan yang diinginkannya. Ceritanya menggugah dan meninggalkan kesan yang mendalam kepada pembacanya. Kesan itulah yang terus melekat hingga sampai kini. Setelah lebih delapan puluh tahun novel itu dilahirkan, Siti Nurbaya tetap diingat dan dibicarakan.
Selain Siti Nurbaya, Marah Rusli juga menulis beberapa roman lainnya. Akan tetapi, Siti Nurbaya itulah yang terbaik. Roman itu mendapat hadiah tahunan dalam bidang sastra dari Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1969 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia.




Karya-karyanya yang terkenal antara lain :
a)    Siti Nurbaya. Jakarta : Balai Pustaka. 1920 mendapat hadiah dari Pemerintah RI tahun 1969.
b)   La Hami. Jakarta : Balai Pustaka. 1924.
c)    Anak dan Kemenakan. Jakarta : Balai Pustaka. 1956.
d)   Memang Jodoh (naskah roman dan otobiografis)
e)    Tesna Zahera (naskah Roman)

B. Angkatan Pujangga Baru
1.     Latar belakang terbitnya Pujangga Baru
Buku Pujangga Baru, Prosa dan Puisi yang disusun oleh H.B Jasin adalah sebuah bunga rampai (antologia) dari para pengarang dan penyair yang oleh penyusunnya digolongkan ke dalam Angkatan Pujangga Baru Seperti diketahui, oleh para ahli dan parapenyusun buku-buku pelajaran sastra Indonesia, perkembangan sastra Indonesia dibagi-bagimenjadi angkatan-angkatan. Angkatan Pujangga Baru biasanya ditempatkan sebagaiangkatan kedua, yaitu setelah angkatan Balai Pustaka dan mendahului kelahiran angkatan‘45.
                Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis.

2.    Karakteristik Karya Angkatan Pujangga Baru    
a.      Dinamis
b.      Bercorak romantik/idealistis, masih secorak dengan angkatan sebelumnya, hanya saja kalau  romantik  angkatan  Siti  Nurbaya  bersifat  fasip,  sedangkan  angkatan  Pujangga Baru aktif romantik. Hal ini berarti bahwa cita-cita atau ide baru dapat mengalahkan atau menggantikan apa yang sudah dianggap tidak berlaku lagi.
c.       Angkatan  Pujangga  Baru  menggunakan  bahasa  Melayu  modern  dan  sudah meninggalkan  bahasa  klise.  Mereka  berusaha  membuat  ungkapan  dan  gaya  bahasa sendiri.  Pilihan  kata,  Penggabungan  ungkapan  serta  irama  sangat  dipentingkan  oleh Pujangga Baru sehingga dianggap terlalu dicari-cari.

Ditilik bentuknya, karya angkatan Pujangga Baru mempunyai ciri-ciri: 
a.       Bentuk  puisi  yang  memegang  peranan  penting  adalah  soneta,  disamping  itu ikatan-ikatan  lain  seperti  quatrain  dan  quint  pun  banyak  dipergunakan.  Sajak jumlah  suku  kata  dan  syarat-syarat  puisi  lainnya  sudah  tidak  mengikat  lagi, kadang-kadang  para  Pujangga  Baru  mengubah  sajak  atau  puisi  yang  pendek-pendek,  cukup  beberapa  bait  saja.  Sajak-sajak  yang  agak  panjang  hanya  ada beberapa buah, misalnya ”Batu Belah” dan ”Hang Tuah” karya Amir Hamjah. 
b.      Tema  dalam  karya  prosa  (roman)  bukan  lagi  pertentangan  faham  kaum  muda dengan  adat  lama  seperti  angkatan  Siti  Nurbaya,  melainkan  perjuangan kemerdekaan  dan  pergerakan  kebangsaan,  misalnya  pada  roman  Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana
c.       Bentuk  karya  drama  pun  banyak  dihasilkan  pada  masa  Pujangga  Baru  dengan tema  kesadaran  nasional.  Bahannya  ada  yang  diambil  dari  sejarah  dan  ada  pula yang semata-mata pantasi pengarang sendiri yang menggambarkan jiwa dinamis.
Pengarang Angkatan Pujangga Baru dan Karyanya

1. Rustam Effendi
Lahir  di  Padang,  18  Mei  1905.  Dia  aktif  dalam  bidang  politik  serta  pernah menjadi  anggota  Majelis  Perwakilan  Belanda  sebagai  utusan  Partai  Komunis.  Dalam karyanya banyak dipengaruhi oleh bahasa daerahnya, juga sering mencari istilah-istilah dari Bahasa Arab dan Sansakerta. Karyanya antara lain:
a.         Percikan Permenungan (kumpulan sajak, 1922)
b.         Bebasari (sandiwara bersajak, 1922)

2.     Amir Hamzah 
            Amir  Hamzah  yang  bergelar  Pangeran  Indera  Putra,  lahir  pada  28-2-1911  di Tanjungpura (Langkat), dan meninggal pada bulan Maret 1946. Ia keturunan bangsawan, kemenakan dan menantu Sultan Langkat, serta hidup ditengah-tengah keluarga  yang taat beragama Islam. Ia mengunjungi HIS di Tanjungpura, Mulo di Medan, dan Jakarta AMS, AI (bagian Sastra Timur) di Solo. Ia menuntut ilmu pada Sekolah Hakim Tinggi sampai kandidat. Amir Hamzah lebih banyak mengubah puisi sehingga mendapat sebutan “Raja Penyair” Pujangga Baru. Karya-karyanya antara lain:
a.         Nyanyi Sunyi (kumpulan sajak, 1937)
b.         Buah Rindu (kumpulan sajak, 1941)
c.         Setanggi Timur (kumpulan sajak, 1939)
d.        Bhagawad Gita (terjemahan salah satu bagian mahabarata) 

C.    Angkatan ‘45

1.      Sejarah Lahirnya Angkatan ‘45
Jika  diruntut  berdasarkan  periodesasinya,  sastra  Indonesia  Angkatan  ‘45  bisa dikatakan  sebagai  angkatan  ketiga  dalam  lingkup  sastra  baru  Indonesia,    setelah  angkatan Balai  Pustaka  dan    angkatan  Pujangga  Baru.  Munculnya  karya-karya  sastra  Angkatan  ‘45 yang  dipelopori  oleh  Chairil  Anwar  ini  memberi  warna  baru  pada  khazanah  kesusastraan Indonesia.  Bahkan  ada  orang  yang  berpendapat  bahwa  sastra  Indonesia  baru  lahir  dengan adanya karya-karya Chairil Anwar, sedangkan karya-karya pengarang terdahulu seperti Amir Hamzah, Sanusi Pane, St.Takdir Alisjahbana, dan lain-lainnya dianggap sebagai karya sastra Melayu. Pada  mulanya  angkatan  ini  disebut  dengan  berbagai  nama,  ada  yang  menyebut Angkatan  Sesudah  Perang,  Angkatan  Chairil  Anwar,  Angkatan  Kemerdekaan,  dan  lain-lain. Baru  pada  tahun  1948,  Rosihan  Anwar  menyebut  angkatan  ini  dengan  nama  Angkatan  ‘45.

3.      Karakteristik Karya Angkatan ‘45
a.    Bercorak  lebih  realistik  dibanding  karya  Angkatan  Pujangga  Baru  yang  romantik-idealistik.
b.    Pengalaman  hidup  dan  gejolak  sosial-politik-budaya  mewarnai  karya  sastrawan Angkatan ’45.
c.    Bahasanya lugas, hidup dan berjiwa serta bernilai sastra.
d.   Sastrawannya lebih berjiwa patriotik.
e.    Bergaya ekspresi dan revolusioner (H.B.Yassin).
f.     Bertujuan universal nasionalis.
g.    Bersifat praktis.
h.    Sikap sastrawannya “tidak berteriak tetapi melaksanakan” .

      Sastrawan Angkatan ‘45 dan Karyanya

1.     Chairil Anwar
             Chairil  Anwar  lahir  di  Medan,  22  Juli  1922.  Sekolahnya  hanya  sampai  MULO (SMP) dan itu pun tidak tamat. Kemudian ia pindah ke Jakarta. Ia merupakan orang yang banyak membaca dan belajar sendiri, sehingga tulisan-tulisannya matang dan padat berisi. Chairil  Anwar  berusaha  memperbarui  penulisan  puisi.  Puisi  yang  diubahnya  berbentuk bebas,  sehingga  disebut  puisi  bebas.  Ia  diakui  sebagai  pelopor  Angkatan  ‘45  di  bidang sebagai  alat untuk mencapai isi. Chairil  Anwar  termasuk  penyair  yang  penuh  vitalitas  (semangat  hidup  yang menyala-nyala)  dan  individualistis  (kuat  rasa  akunya).  Puisi  gubahannya  berirama  keras (bersemangat), tetapi ada juga yang bernafas ketuhanan seperti “Isa”  dan “Do’a”. Karya-karya Chairil Anwar antara lain:
a.       Deru Campur Debu (kumpulan puisi)
b.      Tiga Menguak Takdir (kumpulan puisi karya bersama Rivai Apin dan Asrul Sani)
c.       Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan Yang Putus (kumpulan puisi)
d.      Pulanglah Dia Si Anak Hilang (terjemahan dari karya Andre Gide)
e.       Kena Gempur  (terjemahan dari karya Steinbeck)

2.     Asrul Sani
              Asrul Sani lahir di Rao, Sumatera Barat, 10 Juni 1926. Ia seorang dokter hewan. Pernah  memimpin  majalah  Gema  dan  harian  Suara  Bogor.  Tulisannya  berpegang  pada moral  dan  keluhuran  jiwa.  Asrul  Sani  adalah  seorang  sarjana  kedokteran  hewan,  yang kemudian  menjadi  direktur  Akademi  Teater  Nasional  Indonesia  (ATNI)  dan  menjadi ketua  Lembaga  Seniman  Budayawan  Muslimin  Indonesia  (LESBUMI),  juga  pernah duduk  sebagai  anggota  DPRGR/MPRS  wakil  seniman.  Asrul  Sani  juga  dikenal  sebagai penulis skenario film hingga sekarang.  Karya-karya Asrul Sani antara lain:
a.       Sahabat Saya Cordiaz (cerpen)
b.      Bola Lampu (cerpen)
c.       Anak Laut (sajak)
d.      On Test (sajak)
e.       Surat dari Ibu (sajak)                   










3.     Sitor Situmorang 
           Lahir  di  Tapanuli  Utara,  21  Oktober  1924.  Ia  cukup  lama  bermukim  di  Prancis. Sitor  juga  diakui  sebagai  kritikus  sastra  Indonesia.  Karya-karya  Sitor  Situmorang  antara lain:

a.       Surat Kertas Hijau  (1954) 
b.      Jalan Mutiara (kumpulan drama)
c.       Dalam Sajak (1955)
d.      Wajah Tak Bernama (1956)
e.       Zaman Baru  (kumpulan sajak)
f.       Pertempuran dan Salju di Paris 
g.      Peta Pelajaran (1976)
h.      Dinding Waktu (1976)
i.        Angin Danau (1982)
j.        Danau Toba (1982)
Periode Angkatan 2000 atau Reformasi
a.     Sejarah Angkatan Reformasi 
Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke B.J. Habibie lalu  K.H.  Abdurahman  Wahid  (Gus  Dur)  dan  Megawati  Soekarno  Putri,  muncul  wacana tentang sastrawan reformasi. Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra  puisi,  cerpen  maupun  novel,  yang  bertemakan  sosial-politik,  khususnya  seputar reformasi. Di rubrik sastra Harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik. Sastrawan reformasi  merefleksikan  keadaan  sosial  dan  politik  yang  terjadi  pada  akhir  1990-an,  seiring dengan  jatuhnya  Orde  Baru.  Peristiwa  reformasi  1998  banyak  melatar  belakangi  kelahiran karya-karya  sastra  seperti  puisi,  cerpen,  dan  novel.  Bahkan,  penyair  yang  semula  jauh  dari tema sosial-politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Acep Zamzam Noer dan Ahmadun Yosi Herfanda, juga ikut meramaikan suasana itu dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.



b.    Ciri-ciri Periode 2000

1.    Isi karya sastra sesuai situasi reformasi;
2.    Bertema sosial-politik, romantik, naturalis;
3.    Produktivitas karya sastra lebih marak lagi, seperti puisi, cerpen, novel; 
4.     Disebut angkatan reformasi;
5.    Tahun 1998 merupakan puncak dari angkatan 90-an;
6.    Banyak  munculnya  sastrawan  baru  yang  membawa  angin  baru  dalam kesusastraan  Indonesia,  contohnya  Ayu  Utami  yang  muncul  di  akhir  90-an dengan  karyanya  Saman,  sebuah  fragmen  dari  cerita  Laila  Tak  Mampir  di  New York.
7.    Tema sosial-politik, romantik, masih mewarnai tema karya sastra;
8.    Banyak muncul kaum perempuan;
9.    Disebut angkatan modern;
10.     Karya  sastra  lebih  marak  lagi,  termasuk  adanya  sastra  koran,  contohnya  dalam H.U. Pikiran Rakyat;
11.     Adanya sastra bertema gender, perkelaminan, seks, feminisme; 
12.     Banyak muncul karya populer atau gampang dicerna, dipahami pembaca;
13.     Adanya sastra religi;
14.     Muncul cyber sastra di Internet.

c.     Sastrawan Angkatan 2000 dan Karyanya

1.      Ahmadun Yosi Herfanda 
Lahir di Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958.  Pendidikan: Alumnus FPBS IKIP Yogyakarta menyelesaikan S2 di jurusan Magister Teknologi Informasi pada Univ. Paramadina Mulia, Jakarta, 2005.  Ia  pernah  menjadi  Ketua  III  Himpunan  Sarjana  Kesastraan  Indonesia  (  1993-1995)  dan Ketua Presidium Komunitas Sastra Indonesia (1999-2002), Tahun 2003, bersama cerpenis Hudan  Hidayat  dan  Maman  S.  Mahayana  menerbitkan  Creative  Writing  Institute. Ahmadun  Pernah  menjadi  Anggota  Dewan  Penasihat  Majelis  penulis  Forum  Lingkar Pena.   Contoh karyanya: Resonasi Indonesia